Hari ini Selasa, 15 Mei 2018, IRE kembali menyelenggarakan diskusi bulanan yang bertajuk “Praktik-Praktik Penggunaan Dana Desa”. Kali ini diskusi diselenggarakan di Balai Desa Logandeng, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Ide diskusi ini muncul dari adanya keraguan banyak pihak tentang kapasitas desa dalam mengelola dana desa. Tujuan dari diskusi ini adalah mengabarkan praktik-praktik baik pengelolaan dana desa khususnya dan APBDes pada umumnya yang sudah dilaksanakan oleh desa-desa di Gunungkidul. Selain itu, diskusi ini juga ingin mendorong pihak kabupaten untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang sesuai dengan nilai dan semangat UU Desa.
UU No 06 Tahun 2014 tentang Desa atau lebih umum dikenal dengan UU Desa adalah gagasan baru yang coba ditawarkan oleh pemerintah. Gagasan ini lahir untuk mendorong desa agar semakin maju dan demokratis. Melalui dua azas yang ada di dalamnya, UU Desa mencoba menawarkan cara pandang baru dalam melaksanakan pembangunan. Rekognisi dan subsidiaritas diharapkan mampu membantu desa dalam memetakan dan mengembangkan potensi serta kemaslahatan desa. UU Desa diharapkan mampu menjadi jawaban dari berbagai problem ketimpangan sosial yang ada. Tidak hanya itu, UU Desa juga menjadi stimulus bagi terciptanya wacana “Berdesa”.
Akan tetapi, terlepas dari harapan dan cita-cita baik tersebut UU Desa ini juga menuai banyak pro dan kontra. Geliat UU Desa kemudian dapat dibaca melalui dua sisi yaitu sebagai peluang dan tantangan. Dalam diskusi kali ini, dua narasi tersebut pun muncul. Pertama, membaca UU Desa sebagai peluang. UU Desa memungkinkan desa menciptakan desa menjadi semakin terbuka dan inklusif bagi semua lapisan yang ada dalam masyarakat. Melalui keterbukaan dan inklusifitas tersebut, akan tercipta kepercayaan dan partisipasi warga desa.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampikan oleh Dina Mariana, Peneliti IRE. Dalam penjelasannya, ia menyampaikan bahwa” UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk mampu mengelola setiap potensi dan asset yang ada secara mandiri. Tidak hanya itu, UU Desa juga mendorong lahirnya inklusifitas (keterbukaan) di kalangan warga desa”. Di akhir presentasinya, beliau menyampaikan pentingnya memperhatikan pembangunan yang sifatnya bukan non fisik semata. Diperlukan pembangunan yang sifatnya non fisik guna mewujudkan inklusifitas desa tersebut.
Narasi selanjutnya yang juga muncul ialah UU Desa dibaca sebagai sebuah tantangan. Lahirnya UU Desa memicu ketakutan dan kekhawatiran dalam pemerintah desa. Yang selanjutnya muncul ialah kekeliruan dalam menyikapi UU Desa. Seperti dapat kita saksikan dewasa ini, orang kemudian mengalami kesulitan dalam memahami “ruh” dari UU Desa. Hal tersebut seperti dijelaskan oleh Bapak Imawan Wahyudi selaku Wakil Bupati Gunungkidul. Dalam kesempatan yang diberikan beliau menyampaikan bahwa, “Pemerintah desa tidak menangkap pesan dan makna filosofis dari UU Desa. Oleh karena, muncul adanya tuntutan untuk perlunya mengembalikan mandat UU Desa ke filosofi dan konteks sosiologis yang melingkupinya”. Problem muncul semenjak regulasi tersebut coba untuk diluncurkan. Kebuntuan juga disebabkan oleh tidak adanya hak dan keseimbangan yang dmiliki oleh pemerintah desa. Alih-alih ingin membangun, pemerintah desa justru harus dibuat bingung di awal proses penyusunan pembangunan.
Agaknya, kebingungan tersebut juga dialami oleh kabupaten. Kabupaten sebagai lembaga supra desa juga mengalami “kebuntuan” tersebut. Kebuntuan tersebut dipicu oleh munculnya peraturan yang mengundang kebingungan di level daerah. Regulasi yang ada berubah dengan cepatnya tanpa ada evaluasi. Idealnya, suatu regulasi hendaknya disesuaikan dengan setting sosio kultural suatu daerah. Hal itulah yang kurang disentuh oleh pemerintah dalam merumuskan setiap regulasi. Kebuntuan yang dialami tersebut juga dalam praktiknya berdampak pada relasi yang terbangun di antara desa dan kabupaten. Terdapat banyak model relasi yang muncul baik yang sifatnya satu arah maupun dua arah.
Pada akhirnya, UU Desa lahir untuk memberikan otoritas bagi desa dalam mengelola potensi dan assetnya. Optimsime tersebut disampaikan oleh Arie Sujito, Peneliti Senior IRE. Dalam orasinya, beliau menyampaikan bahwa “desa dewasa ini harus dibayangkan sebagai subjek, bukan lagi objek dalam pembangunan. Semua pihak yang ada dalam desa harus digerakkan demi mencapai kemajuan desa. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya dengan menghidupkan kembali fungsi BPD dalam melakukan kanalisasi aspirasi warga desa”. Melalui UU Desa diharapkan demokrasi lokal dapat berjalan dengan optimal, terbentuk pemerintah desa yang responsif, lahirnya warga desa yang aktif, berjalannya fungsi representasi, dan terbentuknya ruang-ruang yang inklusif”.
Zul Apriani
Mahasiswa Magang