Workshop Pengembangan Ekonomi Lokal (BUM Desa) berbasis Kelapa Sawit merupakan rangkaian akhir kegiatan riset aksi yang diselenggarakan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta didukung OXFAM. Kegiatan ini diselenggarakan di Kabupaten Sekadau (Kalimantan Barat), Senin (20/3/2017) dengan mengundang Pemda (Dinas Perkebunan, BPMPD, dan Bappeda) Kabupaten Sekadau, Pemerintah Kecamatan Sekadau Hulu dan Sekadau Hilir. Selain itu, workshop ini juga dihadiri oleh kepala desa, BPD, dan masyarakat dari dua desa yang menjadi lokasi riset, Desa Ensalang dan Desa Perongkan serta ketua forum kepala desa Sekadau yang juga Kepala Desa Rawak Hilir.
Kegiatan workshop ini diawali dengan pemaparan temuan riset oleh peneliti untuk Desa Perongkan, Rajif Dri Angga dan dilanjutkan dengan pemaparan policy brief mengenai peta jalan pengembangan BUM Desa berbasis kelapa sawit. Rajif menyampaikan bahwa meskipun masuknya komoditas kelapa sawit di Desa Perongkan dan Sekadau secara sekilas menampakkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun sejumlah kerentanan masih menjadi persoalan serius yang dihadapi oleh petani. Kerentanan-kerentanan tersebut, di antaranya berkaitan dengan kejelasan status aset lahan milik petani, terutama petani swadaya. Selain itu, input produksi berupa pupuk bersubsidi dan benih juga menjadi kendala petani dalam peningkatan produktivitas kelapa sawitnya. Di samping itu, petani juga dihadapkan pada akses dan infrastruktur jalan menuju ke kebun yang membuat sulitnya petani dalam proses pengeluaran hasil. Dalam tata niaga kelapa sawit, petani justru bukan aktor yang paling memperoleh keuntungan. Marjin keuntungan terbesar justru dinikmati oleh tengkulak besar (CV).
Menggunakan kerangka analisis penghidupan (livelihood) dari temuan-temuan riset di tiga desa, Manajer Proyek riset ini, Sukasmanto menjelaskan sejumlah tahapan yang perlu ditempuh bagi pemangku kepentingan yang akan mengembangkan BUM Desa berbasis kelapa sawit. Pemerintah pusat penting untuk segera melakukan fasilitasi pengembangan badan usaha di tingkat kabupaten yang bergerak dalam bidang pengolahan hasil kelapa sawit dan untuk memfasilitasi pembentukan badan usaha pengolahan kelapa sawit di tingkat daerah sebagai holding BUM Desa. Pemda perlu memberikan dukungan kegiatan peningkatan produksi dan produktivitas terhadap petani swadaya dan peningkatan kapasitas pengelolaan BUM Desa. Sukasmanto juga menyampaikan bahwa pemdes juga perlu untuk melakukan revisi dokumen perencanaan desa untuk memasukkan alokasi modal penyertaan pendirian BUM Desa. Nantinya, baik pemdes maupun masyarakat mesti melakukan kajian yang tepat dan memadai dalam konteks perumusan peta jalan pengembangan BUM Desa berbasis kelapa sawit.
Diakui oleh Kepala Desa Rawak Hilir, kerentanan-kerentanan tersebut memang dialami oleh sebagian besar petani sawit baik petani mandiri maupun swadaya. Meski menjadi sumber penghidupan utama, masyarakat, belum semua pihak memperoleh manfaat dari kehadiran komoditas unggulan ini. Di sisi lain, ada upaya dari desa untuk melindungi petani sawit terutama dari sisi produksi dan penjualan. Menurut Kepala Desa Perongkan, kehendak untuk melindungi petani sawit ini akan diwujudkan dengan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Namun demikian, diakuinya, pendirian BUM Desa terkendala oleh tidak adanya dukungan dari kecamatan terkait penyertaan modal untuk BUM Desa. Desa Ensalang melihat peningkatan infrastruktur jalan di sekitar perkebunan sawit warga sebagai prioritas utama pembangunan di desa ini.
Menurut perwakilan BPMPD A. Arem, pihaknya telah memfasilitasi pengembangan BUM Desa dengan melakukan serangkaian sosialisasi dan studi banding ke Cibodas, Bandung beberapa waktu yang lalu. Sejumlah BUM Desa juga telah berkembang di Kabupaten Sekadau, meski jenis usahanya belum menyasar ke sektor kelapa sawit secara langsung. Salah seorang petani sawit J. Kideng menjelaskan sejumlah persoalan yang dihadapi oleh petani sawit, di antaranya terkait kondisi lahan sawit yang tidak dipupuk selama 1-2 tahun. Padahal idealnya, pemupukan dilakukan antara 4-6 bulan sekali. Selain itu, dalam proses penjualan, petani dihadapkan oleh ketentuan pembatasan kuota dari perusahaan bagi petani plasma, yaitu hanya 3,3 ton/DO (delivery order). Pada kenyataannya, produksi petani plasma berkisar antara 4-5 ton, bahkan jika pemupukan dan perawatan dilakukan dengan baik, bisa mencapai 6-7 ton. Bagi petani, tidak ada pilihan lain kecuali menjual ke perusahaan atau melalui jasa tengkulak yang harganya lebih rendah dari harga perusahaan.
Senada dengan Kideng, Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Sekadau Bernardus Mohtar menjelaskan bahwa berdasar kajian rantai pasok sawit yang dilakukan SPKS, petani plasma dihadapkan pada berbagai potongan penjualan, mulai dari potongan manajemen fee 5 persen, PPh 0,22 persen, grading antara 20-30 kg, serta indeks K (biaya penyusutan) Rp 100-200/kg. SPKS juga mendorong sosialisasi Peraturan Gubernur Kalbar No. 86 Tahun 2016 tentang penetapan harga TBS yang mengatur mekanisme penetapan harga jual kelapa sawit petani dan mendorong petani untuk tergabung dalam organisasi petani, terutama bagi petani sawit swadaya. Camat Sekadau Hilir menambahkan bahwa penting bagi pemda untuk mendorong kebijakan yang mendukung investasi pabrik tanpa kebun.
Kepala bidang Perkebunan Dinas Perkebunan Kabupaten Sekadau menggarisbawahi sejumlah hal terkait dinamika perkebunan kelapa sawit di kabupaten ini. Di Sekadau, kelapa sawit memberikan kontribusi peningkatan pendapatan. Menurutnya, ini dibuktikan dengan semakin banyaknya petani yang beralih dari petani karet menjadi petani kelapa sawit. Namun demikian, diakuinya, problemnya terletak pada dinamika relasi antara petani dengan perusahaan yang seringkali tidak seiring sejalan. Pemda selama ini telah berupaya memediasi kepentingan petani sekaligus menjaga iklim investasi di sektor perkebunan. Menurutnya, selama ini pemda mengalami kesulitan untuk menerapkan peraturan yang ada karena sejumlah dilema yang dihadapi pemda. Jika ketentuan mengenai klasifikasi harga TBS menurut usia diterapkan, maka hal ini akan berdampak pada harga yang lebih rendah yang diterima petani. Selama ini TBS yang berusia di bawah 5 tahun (buah pasir) dihargai sama dengan TBS yang lebih tinggi usianya karena pencampuran TBS yang berbeda kriteria harga. Di samping itu, pemda mengakui kebutuhan ideal satu pabrik sebesar 3000-6000 ton per hari belum mampu disuplai oleh perkebunan inti maupun perkebunan plasma. Kondisi ini sebenarnya menjadi peluang bagi petani untuk mendesak perusahaan agar ikut meningkatkan produktivitas petani plasma yang selama ini banyak terkendala input produksi.
Kepala BPD Perongkan Martinus Dimon menggarisbawahi lemahnya sumberdaya manusia dan budaya berorganisasi masyarakat petani Perongkan yang akan menjadi kendala bagi pengembangan kelembagaan BUM Desa. Pemdes perlu menempuh langkah sosialisasi kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman mengenai BUM Desa. Kegagalan lembaga KUD sebelumnya di Desa Perongkan memberikan preseden buruk bagi peluang hadirnya lembaga sosial ekonomi di desa ini.
Rajif Dri Angga
Peneliti IRE