Lompat ke konten

Berbagi Cerita Inovasi Penganggaran Partisipatif Desa

DSC_0760

Sejak bulan Juni 2017 lalu, Konsorsium Pemberdayaan kelompok Marginal Desa –Konsorsium yang terdiri dari IRE Yogyakarta, Lakpesdam PBNU, KPI, PSPK UGM, CCES, dan Mitra Wacana—telah menjalankan Program Memperkuat Kemitraan antara Warga dan Pemerintahan Desa dalam Mengembangkan Penganggaran Desa Partisipatif”.

“Melalui proyek ini kami mendorong agar pelaksanaan UU Desa menjadi arena baru yang digunakan untuk tindakan bersama, sehingga tidak ada satupun kepentingan warga desa yang tertinggal”, kata Sunaji, Direktur IRE. Desa diupayakan sebagai ruang baru bagi semua kalangan untuk bertindak dan mewujudkan kepentingan bersama dengan dukungan anggaran desa. Hal tersebut merupakan gagasan utama dari kegiatan ini.

Kegiatan Berbagi Cerita Pembelajaran tersebut dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2018 kemarin bertempat di Grha Amarta Balai Desa Pandowoharjo Kabupaten Sleman. Lilis Suryani selaku Community Empowerment Manager Program Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) –program kemitraan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia— mengatakan bahwa program ini hadir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa kelompok marginal yang seharusnya menjadi penerima manfaat terbesar atas hadirnya UU Desa justru seringkali ditinggalkan. Setelah diadakannya kegiatan ini diharapkan akan dibuat usulan kebijakan untuk Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar bisa menjadi salah satu solusi pengembangan dan pemberdayaan di desa terutama untuk kelompok marginal

DSC_0575

Terdapat lima inovasi yang dipaparkan dalam kegiatan tersebut. Yusraneti, Field Project Officer (FPO) Kabupaten Sumbawa menyampaikan proses dan capaian proyek di dua desa, yaitu Desa Plampang dan Sepayung. Proyek diawali dengan mengorganisir kaum perempuan dalam diskusi-diskusi kecil hingga terbentuk  balai perempuan. Perempuan dan kelompok marginal didorong agar lebih meningkat pengetahuannya tentang proses pembangunan dan penganggaran desa. Di samping warga perempuan yang telah diorganisir diajak untuk melakukan analisis persoalan desa serta aspirasi mereka. Hingga pada akhirnya perempuan dan kelompok marginal dapat berbicara menyampaikan kepentingannya di forum-forum desa. Capaian dari kegiatan ini adalah pelaksanaan Musdus, Musdes dan Musrembangdes yang tadinya kurang aktif menjadi lebih partisipatif dan lebih dinamis diskusinya. Pemerintah desa juga berkomitmen memberikan anggaran bagi kelompok perempuan dalam APBDesa 2018.

Muazim, FPO Banjarnegara, mengangkat tema peran tim media desa dalam membuka saluran aspirasi warga di Desa Kebakalan dan Jalatunda. Untuk “memancing” aspirasi warga, di Desa Kebakalan tim media membuat form aspirasi yang dibagikan kepada masing-masing keluarga. Sedangkan di Jalatunda tim media menginisiasi rembug online untuk menampung aspirasi warga Jalatunda yang merantau di kota-kota besar. Hasil rembug online oleh tim media lalu dilaporkan ke pemerintahan desa dan menjadi dasar perumusan Rencana Kegiatan Pemerintah Desa (RKPDesa). Di Desa Kebakalan rekapitulasi form aspirasi digunakan sebagai materi Musrembangdes. Dan hasilnya, 75% aspirasi yeng telah dihimpun menjadi bahan penyusunan RKPDesa.

Di Desa Pasirian dan Krai Kabupaten Lumajang, seperti dituturkan oleh Ihwanul Muttaqin, kegiatan proyek yang pertama kali dilakukan adalah pengisian cheklist untuk mengevaluasi proses perencanaan dan penganggaran desa yang telah dilakukan tahun sebelumnya. Setelah itu dilanjutkan dengan analisis sosial untuk memetakan masalah yang terjadi di masyarakat. Masalah-masalah desa itulah yang kemudian dijadikan bahan diskusi di forum-forum warga (pengajian, pertemuan RT, arisan, dll). Forum warga yang sebelumnya tidak membicarakan persoalan warga, dengan intervensi proyek ini mengalami perubahan, yaitu masuknya persoalan warga dalam pembicaraan di dalam forum-forum tersebut. Hasilnya, terjadi perubahan kesadaran (masyarakat lebih kritis), aspirasi warga lebih terpetakan, Musyawarah Desa (Musdes) lebih partisipatif, forum warga lebih maksimal, dan munculnya tokoh-tokoh baru (informal leader) yang bisa berperan sebagai agen artikulasi kepentingan warga.

Di Kebumen proyek dijalankan di dua desa yaitu Nampudadi dan Kalijaya. Namun dalam kegiatan ini cerita yang diangkat adalah peran tim media dalam mendorong prubahan pengelolaan forum lokakarya desa (Lokdes) di Desa Nampudadi. Siti Darojah, FPO Kebumen menjelaskan, sebelum intervensi proyek lokakarya desa berlangsung kurang partisipatif, forum tidak dinamis, bahkan peserta lokdes tidak tahu peran dan fungsinya, serta masyarakat belum paham tentang adanya dokumen RKPDes dan APBDes. Upaya untuk memperbaiki Lokdes dilakukan dengan mengumpulkan 10 Ketua RT.

DSC_0636

Kepada mereka tim media memberikan pemahaman tentang arti penting kegiatan Lokdes dan peran yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki kualitas Lokdes. Dengan pemahaman baru tersebut Lokdes berubah lebih partisipatif, suasana Lokdes lebih dinamis, masyarakat lebih paham dengan alur perencanaan dan penganggaran desa, usulan warga mulai terakomodir, dan adanya perwakilan warga (terutama yang menjadi sasaran proyek) masuk dalam tim RKPDesa. Beberapa usulan program kegiatan warga seperti pembangunan sanitasi lingkungan, bantuan kesehatan bagi warga miskin dan difabel, serta bantuan permodalan bagi perempuan dan kelompok marginal masuk dalam dokumen RKPDesa.

Cerita perubahan lainnya dari Desa Krakitan Kabupaten Klaten. Gus Marzuki, FPO Kabupaten Klaten menuturkan kegiatan yang dilakukan Konsorsium di Desa Krakitan adalah memperbaiki kualitas data jumlah warga penyandang disabilitas yang dimiliki oleh pemerintah desa sebagai dasar penyusunan program kegiatan. Data resmi yang dimiliki pemerintah, jumlah penyandang disabilitas di Desa Krakitan sebanyak 102 orang. Dari data yang ada tersebut warga disabilitas yang tergabung dalam “Kelompok Disabilitas Bangkit Mandiri” merasa tidak sesuai dengan fakta yang ada. Akhirnya mereka melakukan pendataan sendiri yang dilakukan ‘dari pintu ke pintu’. Dari pendataan yang mereka lakukan, teridentifikasi ada 148 warga disabilitas di Desa Krakitan.

Di samping itu “Kelompok Disabilitas Bangkit Mandiri” juga mendorong warga penyandang disabilitas aktif mengikuti forum-forum di tingkat desa. Mereka secara terbuka menyampaikan tuntutan kepada pemerintah desa untuk mengalokasikan anggaran pemberdayaan untuk kelompok disabilitas. Hasilnya, pemerintah desa berkomitmen memberikan anggaran untuk kelompok disabilitas pada APBDesa 2018.

Merangkum point-point penting yang telah disampaikan 5 narasumber dalam forum yang dihadiri 250 an orang tersebut, Titok Hariyanto selaku Program Manager menyampikan; pertama, dari aktivitas proyek yang telah dilakukan, terpetakan adanya kompleksitas persoalan yang saat ini dihadapi desa. Mulai dari persoalan sampah, jamban keluarga, sampai dengan persoalan layanan dasar yaitu kesehatan reproduksi, pendidikan, dan administrasi kependudukan.

DSC_0501

Kedua, forum-forum formal sesuai alur perencanaan dan penganggaran desa akan bisa berlangsung optimal serta mampu memetakan persoalan-persoalan yang selama ini dialami ketika warga membicarakannya secara terus menerus persoalan yang mereka hadapi dalam forum-forum warga. Cerita perubahan dari Lumajang dan Kebumen menunjukkan hal tersebut. Dan ketiga, selama ini warga desa menghadapi kendala serius dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri menyampikan aspirasi dalam forum-forum yang diselenggaran oleh pemerintah desa. Form aspirasi dan rembug online yang dilakukan di Banjarnegara menjadi instrumen yang efektif menggali aspirasi warga yang selama ini lebih tidak mampu bersuara.

Bagaimana dengan keberlanjutan atas capaian yang sudah diraih? Proyek ini ‘telah menabur benih di masing-masing desa’. Sudah muncul cara pandang baru baik dari warga desa maupun pemerintah desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan desa. Adanya individu-individu dari kelompok sasaran proyek yang sudah dilibatkan dalam proses-proses perencanaan dan penganggaran desa juga merupakan investasi penting. Mereka masuk sebagai tim penyusun RKPDesa dan RPJMDesa. ‘Benih’ itulah yang sekarang ini mesti dirawat. Baik oleh pemerintah desa, dan utamanya oleh warga desa sendiri.

Penulis

Hesti Rinandari/Titok Hariyanto

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.