Negara (Tidak) Hadir
Gelora desa membangun menjadi fenomena yang masif di negeri ini. Payung hukum UU Desa benar-benar membalik situasi desa, dari yang sepi membangun menjadi ramai dengan beragam kegiatan dan perubahan. Banyak pihak supradesa pun riuh menyandingkan keramaian tersebut dengan pemahaman dan keingintahuan yang segera diketahuinya. Alhasil, mulailah bermunculan data-data riset yang mempertontonkan ragam capaian desa membangun. Hasil riset Smeru Institute (2018), misalnya, menemukan data ketimpangan meningkat di desa-desa yang semakin banyak membangun infrastruktur desa. Ada korelasi positif pembangunan infrastruktur desa dengan ketimpangan.
Data ini untungnya dibaca secara kritis, tidak sekadar dimaknai secara korelatif semata antar-capaian hasil kegiatan yang berbeda. Ada proses awal yang tidak berlangsung semestinya, sehingga menghasilkan data yang ditemukan tadi. Semarak pembangunan desa dan kontrol pencapaiannya melalui temuan riset seperti disebutkan tadi, memberikanperingatan dini bagi kita semua. UU Desayang sejatinya mengatur perihal entitas desa, masih dipahami dan dipraktikkan lebih berat pada sisi pemerintahan saja.
Alih-alih menampilkan wajah “negarahadir” di desa dengan misi perlindungandan pelayanan, justru desa mempraktikkanwajah “negara berkuasa” yang mengambilalih peran semua tata kehidupan berdesa dan bermasyarakat. Mandat UU Desa agar mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, malah terlipat dalam kepentingan para pemangku kebijakan desa yang tergolong elit atau tokoh-tokoh masyarakat desa. Kepentingan masyarakat rentan dan marginal desa (perempuan, difabel, PEKKA) tidak terdeteksi oleh radar para pemangku kebijakan desa tadi, jadilah program/kegiatan desa bernuansa elite bias. Alur kerangka kerja di desa yang demikian inilah yang IRE temukan di banyak desa, baik di Pulau Jawa maupun di pulau lainnya. Desa membangun masih dalam suasana yang belum mempraktikkan akuntabilitas dan inklusi sosial.
Download Annual Report 2018 DISINI