Bisnis.com, DENPASAR– Deputi Pengembangan Daerah Khusus Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Lili Romli menegaskan status desa di Bali masih akan tetapi diakui seperti saat ini yakni desa adat dan dinas apabila tidak menyetorkan status desa ke pusat pada 15 Januari 2014.
“Hambatan kalau tidak daftarkan ya seperti sekarang. Soal pendaftaran itu masalah pembagian dana dari pusat dan itu masalah sekunder, yang utama adalah mengelola kepentingan,” jelasnya dalam Diskusi Tantangan dan Peluang Pemda dalam Penerapan UU Desa di Kuta, Kamis (18/12/2014).
Penegasan itu disampaikan Lili, karena UU No.6/2014 tentang Desa yang akan mulai berlaku 2015 membuat resah masyarakat Bali. Pasalnya, dalam beleid terbaru itu Bali harus memilih salah satu status desa adat atau desa dinas dan batas waktu penyetoran tersebut 15 Januari 2015.
Masyarakat Bali mengkhawatirkan aturan itu akan menghilangkan status desa adat atau pakraman yang sudah ada sejak lama. Selama ini tugas desa adat di Bali mengatur adat dan agama Hindu, sedangkan desa dinas mengurus pemerintahan. Jumlah desa adat mencapai 1.488, dan desa dinas 716.
Ada pihak yang beranggapan lebih baik mendaftarkan status desa dinas ke pusat, karena tidak akan mengganggu status desa adat. Namun, ada juga yang berpendapat lebih baik mendaftarkan desa adat, karena jumlahnya lebih banyak dibandingkan desa dinas dan desa adat merupakan kekayaan Bali.
Lili mengakui hingga kini belum mengetahui implikasi negatif apabila daerah tidak menyerahkan daftar status desa ke pusat sampai batas waktu yang ditentukan.
Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta Ari Sujito menegaskan kunci permasalahan dualisme sikap masyarakat Bali ada di Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Daerah (perda) yang akan menjabarkan undang-undang. Perda akan menjadi kunci permasalahan karena akan mengatur tentang kewenangan terhadap desa.
“Kami harap kementerian menyiapkan road map agar daerah juga sesuai on track, salah satunya revisi PP No.43/2014 soal penyelenggaraan desa dan PP No.60/2014 tentang alokasi dana desa,” jelasnya.
Kendati masih menimbulkan polemik di Bali, menurutnya, aturan baru ini sudah lebih baik dibanding peraturan sebelumnya. Namun diakuinya undang-undang yang disahkan pada tahun ini tidak dapat menjabarkan hal-hal detil.
Dia menegaskan spirit peraturan ini memberikan penghargaan kepada desa, dan bukan sebaliknya merusak status desa adat yang sudah ada sejak lama. Menurutnya, kerangka yang harus dipilih adalah masalah kesejahteraan dan bukan mengangkut masalah mendapatkan dana dari pusat.
Salah satu keunggulan aturan ini adalah mendorong desa lebih demokratis dan menjadikan desa bukan sebagai obyek tetapi subyek dalam perencanaan.
“Karena ini mengatur Indonesia bukan seperti aturan sebelumnya yang hanya mengatur Jawa dan diterapkan ke seluruh daerah,” tuturnya di lokasi sama.
Sumber : Bali Bisnis